Saya besar bersama konflik






"Dek, yuk kita latihan silat lagi", seru seorang kakak pada adiknya pagi itu. "Boleh, tapi pakai seragam silat yang baru yah," sahut sang adik lantang dan bersemangat. Lima belas menit kemudian mereka pun latihan bersama. Tak ada yang salah, mereka begitu senang mempelajari jurus yang satu maupun yang lain. Bahkan kini mereka latih tanding, sang kakak beberapa kali memperagakan jurus kuncian yang membuat sang adik agak kewalahan. Canda tawa terus keluar meski keduanya telah berkeringat.

Pukulan tangan kanan si kakak berhasil ditepis sang adik dengan kedua tangannya. Selang beberapa detik sang adik memulai tendangan kaki kiri namun si kakak begitu sigap menghindarinya. Hingga si kakak akhirnya tanpa sengaja terkena siku sang adik, sedikit memar di wajah sebelah kanan. Emosi mulai terlihat di wajahnya. Gerakan sang kakak pun semakin tak terkendali. Pun terjadilah pertengkaran dua kakak beradik yang masih sama-sama duduk di bangku sd. Hingga akhirnya sang Ayah datang untuk melerai dan menghukum mereka.

Pertengkaran, konflik tak akan pernah lepas dari setiap sisi hidup manusia. Sejak zaman Adam dan Hawa pun mereka sudah terlibat konflik dengan Sang Pencipta hingga harus keluar dari Surga. Meski konflik yang ditenggarai oleh hasutan sang iblis.

Tidak hanya dua orang kakak beradik tadi, Adam dengan Sang Pencipta, kita sehari-hari pun niscaya tidak akan pernah luput dari konflik. Mungkin tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tak pernah terlibat dengan yang namanya konflik. Meski hanya sekadar konflik bathin.

Pengalaman pun pernah saya rasakan sejak kecil. Konflik yang bahkan belum melibatkan diri saya secara langsung. Pertengkaran di dalam rumah, ketika kedua orang tua harus berteriak sepanjang hari mengenai masalah yang saya rasa masalahnya ya itu-itu saja. Hingga saat pertama duduk di bangku sekolah. Pertengkaran sesama teman sekolah, teman main di rumah, bahkan melihat pertengkaran satu sekolah dengan sekolah lain atau yang biasa di sebut tawuran.

Tidak hanya konflik fisik, konflik bathin pun sering saya alami. Mulai dari pertengkaran dengan sang kakak yang terlalu banyak memerintah, konflik bathin dengan pasangan saat saya duduk di bangku kuliah. Bahkan konflik bathin saat saya kecewa dengan respon teman kerja atau klien saat ini.

Konflik pun menjadi kata yang begitu familiar di telinga saya. Akhir-akhir ini pun masih sering terjadi konflik. Akibat konflik yang terjadi pun berbagai macam, dari luka fisik sampai luka bathin yang tak akan pernah begitu mudah untuk dilupakan.

Namun, tidak semua konflik mengakibatkan hal yang negatif. Ada beberapa konflik yang membuat saya sadar dan memperbaiki kesalahan. Ada beberapa konflik yang membuat saya lebih kuat dan mampu menatap jalan kedepan dengan lebih siap. Sisi positif memang ada, tapi terkadang sisi ini dengan mudahnya tertutup oleh emosi dan egoisme. Sisi yang kadang-kadang tak terpikirkan hingga sering terjadi pengulangan konflik.

Konflik harusnya tidak perlu ditakuti, pun tidak perlu dihindari. Konflik malah justru disiati, dijadikan pelajaran dan mencari konflik lain agar kita lebih siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Bahkan anak SD pun harus melakukan ujian sekolah, yang saya jamin sudah menjadi konflik bathin mana kala apa yang mereka pikirkan pun hanya bagaimana kalau mereka tidak lulus.

Konflik, pertengkaran, perselisihan, semua adalah fase sebuah siklus hidup. Bahkan mereka yang baru 2 bulan pacaran pun pasti sempat terkena konflik satu sama lain.

Life ain't easy. But we can make it better and better from the worst side to the best side.

Malam ini pun saya masih terlibat konflik bathin yang membuat saya harus menulis tulisan ini agar sedikit lebih tenang :)



Jakarta 24th Jan 2013

Latest Post
Sabtu, 12 Januari 2013

Kata orang, cinta tak mengenal bentuk.


Kata orang, cinta tak mengenal bentuk.





“When the rain Is blowing in your face. And the whole world is on your case. I could offer you a warm embrace. To make you feel my love”

September 20, setelah sekian lama tahu, tapi seperti tak tahu. Sempat berpikir untuk hanya sekadar melihat, malah lebih dari sekadar menyapa. Sapaan biasa, mengalir begitu mudah, mengalir begitu indah. Iya.., setelah satu kata di telephone genggam berubah menjadi senyum dari malam hingga pagi.

Kala bertemu pun sangat keterlaluan, keterlaluan berkesan dari yang seharusnya diharapkan. “Ini oleh-olehnya, maaf yang kemarin sudah kadaluarsa, jadi tadi beli di dekat kantor”, jelasnya.

Saat pertama kali bertemu, saat pertama kali bergetar, saat pertama kali terbang, saat pertama kali bergeming. “Dia tulis namaku di cake itu?” dalam hati berbisik sendiri sampai bingung sembari memegang sofa.

Kata orang, cinta tak mengenal bentuk, imajinasi, rupa, rasa, ruang. Kata orang cinta bisa begitu hening, ramai, tak kenal ampun, bahkan tak pernah lelah. Kata aku cinta itu kamu.

Baru saja mengenal kamu dalam 168 jam, lalu sudah pergi. Baru saja mengenal kamu dalam 168 jam, malah tak pernah berhenti berharap dapat kabar darimu. Baru saja mengenal kamu dalam 168 jam, bahkan tak pernah absen pulang untuk sekadar mendengar suaramu.

Ini memang terlalu cepat, dan terlalu indah. Seperti yang seharusnya Sangkuriang lakukan pada Dayang Sumbi mana kala ceritanya berubah, Dayang Sumbi seharusnya tidak memiliki hubungan darah dengannya. Dalam hitungan hari, rasa ini semakin tumbuh, semakin besar, seperti gunung yang ditumbuhi pepohonan hingga tak terhitung jumlahnya. Tapi, kadang matahari tak sehangat kelihatannya, hujan tak sesendu kelihatannya, angin tak semilir kelihatannya, laut tak setenang kelihatannya.

“No one wants, pain. But you cant have a rainbow without rain.”

Lewat mimpi ini, diletakan batu kecil. Batu yang tak akan terhempas oleh semua musim. Batu yang disusun sedemikian rupa hingga mampu menahan setiap guncangan. Batu yang meski kecil, tapi tertata rapih hingga membentuk garis lurus. Batu yang dengan sengaja diletakan menjadi sebuah jalan tak terputus.

"Go to the ends of the Earth for you. To make you feel my love,"

Untuk kamu, mimpi yang begitu kuat dan indah. Aku susun batu kecil untuk menyentuh mimpi hingga sisa nafas terakhir tubuh ini.





4.10.am. 13.jan.13

Lyric: Adele "Make You Feel My Love"

Jumat, 03 Februari 2012

Kamu itu “D.I.M.U.”


Kamu itu “D.I.M.U.”



“Aku masih di sini, (rambut kusut dan mata sayu), besok harus present materi baru, sementara aku masih berkutat dengan request sebelumnya, (masih berdebat dengan teman setim mengenai request ini),” teriak dirinya pada kotak hitam yang penuh dengan garis-garis dan angka. Sesekali dia menghembuskan nafas dengan berat, pelan, terkadang agak sedikit bersuara. Dia muram dan terlihat begitu lelah, wajahnya mulai berminyak yang memperlihatkan tingkat stress yang begitu tinggi.

“Jam 8 pagi aku sudah sampai kantor ini, sekarang sudah pukul 11 malam, dan masih menyelesaikan semua pekerjaan yang menggunung ini,” cetusnya padaku malam itu. Seperti biasa, sehabis futsal bersama kawan lama, aku biasanya mampir ke kantornya, sekadar menyapa suasana lalu dibekas mejanya, atau hanya sekadar mencari air pelepas dahaga yang entah mengapa selalu terasa berbeda di sana. “Orang gila! Masih di sini aja kamu (aku tahu dia wanita terpagi yang pernah aku kenal), pulang!” Teriak ku padanya.

Dia sama sekali tak menggubrisnya, malah asik menghitung lagi semua angka yang kaku di depannya. Hanya sebentar menoleh ku yang baru tiba bersama teman setimnya, seakan sama sekali tidak berminat dengan kedatanganku. Tangannya sama sekali tidak lepas dari tetikus komputer itu, matanya lurus, tampak sangat fokus. Sempat mencoba bercanda dengannya, namun dia begitu dingin, dan sesekali dia berbisik, “aku mau pulang…”

Aku sempat meminjam jam tangan miliknya, sekadar berharap mendapatkan perhatiannya, dan mencoba mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan barang sejenak. Namun sepertinya itu sia-sia, dia tampak sama sekali tidak bersemangat untuk membalas ucapanku, hanya melepaskan jam tangan itu lalu terdiam lagi. “Jam ini cukup besar ditanganku, apa pantas jika aku memilikinya?” tanyaku kepadanya, namun justru teman yang lain yang menjawabnya, bukan dia.

Selang beberapa menit, setelah menunggunya berdiskusi dengan teman setimnya, dia mengajak ku pulang. Sekitar pukul 11.30 malam, kami pulang. Sengaja aku menunggunya pulang malam itu, meski bisa saja dia pulang pagi, tapi aku tetap mau menunggunya. Dia temanku, aku tahu dia sedang apa, dan aku mau ada saat dia butuh malam ini.

Kami turun berdua di lift malam itu, dia terdiam, dia begitu hening, dia hampir kehilangan seluruh energinya hari ini. “Hari ini benar-benar berantakan, dari jam 8 pagi sampai sekarang semuanya masih belum kelar, dan besok ga tahu harus mau apa lagi” ungkapnya sambil membuka keheningan malam ini. Belum sempat menjawab, pintu lift sudah terbuka, kami pun berpisah, dan pulang dengan kendaraan masing-masing.

Aku tahu dia, aku tahu dia pasti akan cerita nanti, aku tahu dia seperti dia begitu tahu tentang aku. Sambil mengendarai mobil di tengah rintik hujan, aku berjalan agak pelan malam itu. Sesekali melihat sekeliling dengan hati-hati, karena lampu besar mobilku mati. Terdengar sayup-sayup lantunan Raisa yang akhir-akhir ini begitu akrab di telinga.

“Dingin sekali malam ini, begitu tenang, tapi serasa begitu sepi,” gumamku iseng kepada diri sendiri. Lalu, handphone ini bergetar, hanphone ini bersuara, tidak terlalu keras nada dering yang aku set, namun terdengar begitu jelas malam itu. Namanya ku kenal dengan jelas, namanya begitu mengalihkan konsentrasi kepala ini hanya ke handphone itu.

“Aku tahu dia akan bercerita, “ ungkapku dalam hati. Akhirnya Ia menelponku selang beberapa menit setelah kami berpisah di kantor tadi. Aku terdiam, saat dia bercerita semuanya, saat dia membagi gelas demi gelas mimpi dan harapannya, saat dia membagi lembar demi lembar amarah dan umpatannya. Aku terdiam, saat dia berteriak tanpa suara, menangis tanpa airmata, tertawa tanpa senyuman.

Aku tahu kamu bisa, aku tahu ini hanya sebagian fase terendah kamu. Aku tahu kamu sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan aku tahu dengan jelas kamu sudah tahu jawabannya tentang semua kejadian-kejadian ini. Aku tahu, kamu hanya butuh aku mendengarmu, lalu aku tersenyum palsu, karena memang aku tidak punya jawaban yang begitu bagus untukmu. Aku tahu kamu cuma butuh sedikit semangat dariku, karena memang kamu sebenarnya lebih kuat dari aku.





Fatmawati, 3.51 pagi, sepuluh hari sebelum hari kasih sayang

Senin, 16 Januari 2012

Christmas di Sawarna


Christmas di Sawarna





Awalnya bingung, penuh pertanyaan. Apa aku lari saja weekend ini, padahal semua begitu menumpuk, begitu penat, begitu penuh keraguan.

Awalnya tanpa persiapan, hanya berbekal keimpulsifan diri tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan.

Awalnya bertanya pada seorang teman, masih muda, seharusnya aku tidak bertanya, malah terlihat bodoh dan tidak dewasa, tapi aku butuh dia.

Awalnya penuh keraguan, saat teman ini bilang “udah sana jalan, lo itu perlu liburan” bukan apa-apa yang diharapkan, hanya sedikit justifikasi kalau aku memang perlu berangkat.

Dan awalnya pun aku sudah susah, harus pulang dulu ke bekasi, harus ambil motor dan harus telat bertemu team touring ini.


Kedua tangan terasa sakit akibat mengendarai motor terlalu lama, terlalu berat dan memang ini kali pertama perjalanan jauh dengan motor lagi

Kedua tangan ini serasa mati rasa, karena dinginnya udara perbukitan dan pegunungan yang dilewati malam itu, dan hanya sebentar beristirahat.

Kedua tangan ini menghitam akibat debu, dan menjadi kasar karena memang tanpa sarung tangan untuk melindunginya.

Kedua tangan ini serasa lemas, saat pagi itu, jam 6 pagi kita beristirahat dekat pelabuhan ratu, lemas sampai mengangkat teh panas itu pun memerlukan dua tangan.


Senyum pun aku temui pagi itu, mana kala aku sampai di pantai Sawarna tepat pukul 9 pagi. Ketenangan pantai tak berpenghuni, ketenangan arus ombak tak berperahu, dan ketenangan bukit hijau tak terjamah.

Senyum pun aku temui pagi itu, mana kala aku dan seorang teman berhasil menembus hutan hanya untuk mencari mesin ATM, yang sayangnya aku tidak bisa membayar tagihan pribadi akibat Bank ATM ini berbeda

Senyum pun aku temui pagi itu, mana kala aku menelponnya pagi-pagi, meski hanya untuk meminta tolong pada dirinya, tapi aku menjadi orang pertama yang mendengar suaranya pagi itu.

Senyum pun aku temui pagi itu, mana kala koneksi data ponsel ini bagitu lancar, begitu mudah memberi sedikit kabar kepada seorang teman yang katanya begitu bermimpi datang ketempat ini.


Christmas di Sawarna, kembali bermain pasir, kembali bercanda dengan ombak, kembali berlari dan sebentar berhenti hanya untuk mangamati keindahan ini.

Christmas di Sawarna, aku menuliskan sebuah kata “Terima Kasih”, di pasir putih pantai ini, yah memang cuma untuk kamu. Semoga berkenan meski cuma kata itu yang sanggup terucap.

Christmas di Sawarna, Malam itu hujan, teringat satu tahun lalu, tepat malam natal, aku, Sesa dan Juti, tak tahu arah, tersasar hanya untuk mencari makan malam terjauh.

Christmas di Sawarna, begitu banyak harapan aku lukiskan malam itu, kami hanya bercanda di sebuah saung kecil di bawah guyuran hujan malam Natal.

Christmas di Sawarna, membawa kisah indah, lucu, bahkan ada kisah sedih dan tak terduga. Dari kehilangan alat komunikasi, menemukan pusat service motor resmi di tengah gunung, sampai harus sebentar mampir di kantor polisi.

Christmas di Sawarna, cuma sekali tahun lalu, penutup tahun 2011, penutup semua harapan dan mimpi tahun lalu yang memang akhirnya tidak terselesaikan.

Christmas di Sawarna, sayang kamu tidak ikut, seharusnya ini jadi trip pertama atau mungkin terakhir untuk kita. Trip yang mungkin hanya kamu dan aku yang tahu bagaimana setiap peristiwa yang terjadi pada kita selalu menimbulkan jawaban klise “everything happens for a reason”





Fatmawati, 17 Jan 12. 2.30 am

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About