Jumat, 03 Februari 2012

Kamu itu “D.I.M.U.”




“Aku masih di sini, (rambut kusut dan mata sayu), besok harus present materi baru, sementara aku masih berkutat dengan request sebelumnya, (masih berdebat dengan teman setim mengenai request ini),” teriak dirinya pada kotak hitam yang penuh dengan garis-garis dan angka. Sesekali dia menghembuskan nafas dengan berat, pelan, terkadang agak sedikit bersuara. Dia muram dan terlihat begitu lelah, wajahnya mulai berminyak yang memperlihatkan tingkat stress yang begitu tinggi.

“Jam 8 pagi aku sudah sampai kantor ini, sekarang sudah pukul 11 malam, dan masih menyelesaikan semua pekerjaan yang menggunung ini,” cetusnya padaku malam itu. Seperti biasa, sehabis futsal bersama kawan lama, aku biasanya mampir ke kantornya, sekadar menyapa suasana lalu dibekas mejanya, atau hanya sekadar mencari air pelepas dahaga yang entah mengapa selalu terasa berbeda di sana. “Orang gila! Masih di sini aja kamu (aku tahu dia wanita terpagi yang pernah aku kenal), pulang!” Teriak ku padanya.

Dia sama sekali tak menggubrisnya, malah asik menghitung lagi semua angka yang kaku di depannya. Hanya sebentar menoleh ku yang baru tiba bersama teman setimnya, seakan sama sekali tidak berminat dengan kedatanganku. Tangannya sama sekali tidak lepas dari tetikus komputer itu, matanya lurus, tampak sangat fokus. Sempat mencoba bercanda dengannya, namun dia begitu dingin, dan sesekali dia berbisik, “aku mau pulang…”

Aku sempat meminjam jam tangan miliknya, sekadar berharap mendapatkan perhatiannya, dan mencoba mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan barang sejenak. Namun sepertinya itu sia-sia, dia tampak sama sekali tidak bersemangat untuk membalas ucapanku, hanya melepaskan jam tangan itu lalu terdiam lagi. “Jam ini cukup besar ditanganku, apa pantas jika aku memilikinya?” tanyaku kepadanya, namun justru teman yang lain yang menjawabnya, bukan dia.

Selang beberapa menit, setelah menunggunya berdiskusi dengan teman setimnya, dia mengajak ku pulang. Sekitar pukul 11.30 malam, kami pulang. Sengaja aku menunggunya pulang malam itu, meski bisa saja dia pulang pagi, tapi aku tetap mau menunggunya. Dia temanku, aku tahu dia sedang apa, dan aku mau ada saat dia butuh malam ini.

Kami turun berdua di lift malam itu, dia terdiam, dia begitu hening, dia hampir kehilangan seluruh energinya hari ini. “Hari ini benar-benar berantakan, dari jam 8 pagi sampai sekarang semuanya masih belum kelar, dan besok ga tahu harus mau apa lagi” ungkapnya sambil membuka keheningan malam ini. Belum sempat menjawab, pintu lift sudah terbuka, kami pun berpisah, dan pulang dengan kendaraan masing-masing.

Aku tahu dia, aku tahu dia pasti akan cerita nanti, aku tahu dia seperti dia begitu tahu tentang aku. Sambil mengendarai mobil di tengah rintik hujan, aku berjalan agak pelan malam itu. Sesekali melihat sekeliling dengan hati-hati, karena lampu besar mobilku mati. Terdengar sayup-sayup lantunan Raisa yang akhir-akhir ini begitu akrab di telinga.

“Dingin sekali malam ini, begitu tenang, tapi serasa begitu sepi,” gumamku iseng kepada diri sendiri. Lalu, handphone ini bergetar, hanphone ini bersuara, tidak terlalu keras nada dering yang aku set, namun terdengar begitu jelas malam itu. Namanya ku kenal dengan jelas, namanya begitu mengalihkan konsentrasi kepala ini hanya ke handphone itu.

“Aku tahu dia akan bercerita, “ ungkapku dalam hati. Akhirnya Ia menelponku selang beberapa menit setelah kami berpisah di kantor tadi. Aku terdiam, saat dia bercerita semuanya, saat dia membagi gelas demi gelas mimpi dan harapannya, saat dia membagi lembar demi lembar amarah dan umpatannya. Aku terdiam, saat dia berteriak tanpa suara, menangis tanpa airmata, tertawa tanpa senyuman.

Aku tahu kamu bisa, aku tahu ini hanya sebagian fase terendah kamu. Aku tahu kamu sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan aku tahu dengan jelas kamu sudah tahu jawabannya tentang semua kejadian-kejadian ini. Aku tahu, kamu hanya butuh aku mendengarmu, lalu aku tersenyum palsu, karena memang aku tidak punya jawaban yang begitu bagus untukmu. Aku tahu kamu cuma butuh sedikit semangat dariku, karena memang kamu sebenarnya lebih kuat dari aku.





Fatmawati, 3.51 pagi, sepuluh hari sebelum hari kasih sayang

~ 8 komentar: ~

Unknown says:
at: 3 Februari 2012 pukul 18.36 mengatakan...

kamuuu

semangat yah

miss you!

Satu Luka says:
at: 3 Februari 2012 pukul 21.59 mengatakan...

munceeeee... aku dah punya buku tentang kopi lohhhh :p apa kabarrrrr???

Tulus Ciptadi says:
at: 5 Februari 2012 pukul 09.31 mengatakan...

*peluk parjono*


*tapi dia homophobic*

:p

Unknown says:
at: 5 Februari 2012 pukul 19.04 mengatakan...

hahahha tulus masih aja... peluk aku aja lus.. mau gak?

miss you both

Satu Luka says:
at: 6 Februari 2012 pukul 04.41 mengatakan...

@tulus... masih ajeee -__- dapet salam dari pembantu phobia :p

@munce: kapan kita kemana??

Satu Luka says:
at: 6 Februari 2012 pukul 04.42 mengatakan...

@tulus... masih ajeee -__- dapet salam dari pembantu phobia :p

@munce: kapan kita kemana??

Tulus Ciptadi says:
at: 10 Februari 2012 pukul 20.37 mengatakan...

tuh kan aku gak diajak :(

luke! says:
at: 1 Maret 2012 pukul 04.59 mengatakan...

blogwalking :)

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About