Rabu, 23 Januari 2013

Saya besar bersama konflik






"Dek, yuk kita latihan silat lagi", seru seorang kakak pada adiknya pagi itu. "Boleh, tapi pakai seragam silat yang baru yah," sahut sang adik lantang dan bersemangat. Lima belas menit kemudian mereka pun latihan bersama. Tak ada yang salah, mereka begitu senang mempelajari jurus yang satu maupun yang lain. Bahkan kini mereka latih tanding, sang kakak beberapa kali memperagakan jurus kuncian yang membuat sang adik agak kewalahan. Canda tawa terus keluar meski keduanya telah berkeringat.

Pukulan tangan kanan si kakak berhasil ditepis sang adik dengan kedua tangannya. Selang beberapa detik sang adik memulai tendangan kaki kiri namun si kakak begitu sigap menghindarinya. Hingga si kakak akhirnya tanpa sengaja terkena siku sang adik, sedikit memar di wajah sebelah kanan. Emosi mulai terlihat di wajahnya. Gerakan sang kakak pun semakin tak terkendali. Pun terjadilah pertengkaran dua kakak beradik yang masih sama-sama duduk di bangku sd. Hingga akhirnya sang Ayah datang untuk melerai dan menghukum mereka.

Pertengkaran, konflik tak akan pernah lepas dari setiap sisi hidup manusia. Sejak zaman Adam dan Hawa pun mereka sudah terlibat konflik dengan Sang Pencipta hingga harus keluar dari Surga. Meski konflik yang ditenggarai oleh hasutan sang iblis.

Tidak hanya dua orang kakak beradik tadi, Adam dengan Sang Pencipta, kita sehari-hari pun niscaya tidak akan pernah luput dari konflik. Mungkin tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tak pernah terlibat dengan yang namanya konflik. Meski hanya sekadar konflik bathin.

Pengalaman pun pernah saya rasakan sejak kecil. Konflik yang bahkan belum melibatkan diri saya secara langsung. Pertengkaran di dalam rumah, ketika kedua orang tua harus berteriak sepanjang hari mengenai masalah yang saya rasa masalahnya ya itu-itu saja. Hingga saat pertama duduk di bangku sekolah. Pertengkaran sesama teman sekolah, teman main di rumah, bahkan melihat pertengkaran satu sekolah dengan sekolah lain atau yang biasa di sebut tawuran.

Tidak hanya konflik fisik, konflik bathin pun sering saya alami. Mulai dari pertengkaran dengan sang kakak yang terlalu banyak memerintah, konflik bathin dengan pasangan saat saya duduk di bangku kuliah. Bahkan konflik bathin saat saya kecewa dengan respon teman kerja atau klien saat ini.

Konflik pun menjadi kata yang begitu familiar di telinga saya. Akhir-akhir ini pun masih sering terjadi konflik. Akibat konflik yang terjadi pun berbagai macam, dari luka fisik sampai luka bathin yang tak akan pernah begitu mudah untuk dilupakan.

Namun, tidak semua konflik mengakibatkan hal yang negatif. Ada beberapa konflik yang membuat saya sadar dan memperbaiki kesalahan. Ada beberapa konflik yang membuat saya lebih kuat dan mampu menatap jalan kedepan dengan lebih siap. Sisi positif memang ada, tapi terkadang sisi ini dengan mudahnya tertutup oleh emosi dan egoisme. Sisi yang kadang-kadang tak terpikirkan hingga sering terjadi pengulangan konflik.

Konflik harusnya tidak perlu ditakuti, pun tidak perlu dihindari. Konflik malah justru disiati, dijadikan pelajaran dan mencari konflik lain agar kita lebih siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Bahkan anak SD pun harus melakukan ujian sekolah, yang saya jamin sudah menjadi konflik bathin mana kala apa yang mereka pikirkan pun hanya bagaimana kalau mereka tidak lulus.

Konflik, pertengkaran, perselisihan, semua adalah fase sebuah siklus hidup. Bahkan mereka yang baru 2 bulan pacaran pun pasti sempat terkena konflik satu sama lain.

Life ain't easy. But we can make it better and better from the worst side to the best side.

Malam ini pun saya masih terlibat konflik bathin yang membuat saya harus menulis tulisan ini agar sedikit lebih tenang :)



Jakarta 24th Jan 2013

~ 1 komentar: ~

Unknown says:
at: 8 November 2014 pukul 09.16 mengatakan...

Hidup tanpa konflik mustahil..
Nikmati, jalani, hidupi,,
Semangat kawan..

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About