Selasa, 07 Oktober 2008

Musik tidak melulu harus laku dijual



Sore dalam salah satu konsernya di Blizt Megaplex Jakarta

“Wah lagu yang lo bikin masih kedengaran komersil men,” ketus seorang teman saat mendengarkan demo lagu itu. “Iya, mungkin hanya lagu ini yang cukup komersil, tapi lainnya idealis semua kok,” jelas teman saya yang lain si pemilik lagu demo tersebut. Menggelitik sekali percakapan ini dibenak saya. Mungkin beberapa tahun lalu kita sempat berada pada fase di mana musik harus laku untuk dijual. Tapi perlahan -tidak tahu pasti atau tidak- mindset kita sudah berubah. Musik tidak melulu harus laku dijual.

Yah, memang sekarang musik sudah tidak laku dijual, tapi sangat laku dibajak. Tidak heran label-label besar mulai panik, dan melakukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan pembajakan ini. Terlepas dari laku atau tidak laku, scene indie mulai tumbuh lagi di akhir tahun 2000. Kalau bisa kita telaah lebih jauh, apa yang sebenarnya melatarbelakangi musik indie ini begitu tumbuh pesat seperti jamur setelah hujan? “Simple sih, kita ga perlu mikirin konsep yang berat-berat, bikin ajah, nikmatin ajah, mau laku syukur ga yah lo dah bisa bikin lagu ‘kan,” jawab beberapa teman dari komunitas musik indie, yang ternyata masih satu kampus juga dengan saya.

Didukung dengan teknologi yang ramah komunitas seperti internet, serta fasilitas web berbasis jejaring sosial pertemanan seperti myspace, blog, friendster bahkan facebook yang menjadi tren baru sanggup membawa komunitas ini menjadi lebih bernyanyi. Bahkan dari pergulatan dunia maya ini beberpa band indie telah berhasil mentas di berbagai negara, seperti Everybody Loves Irene (ELI) yang beberapa waktu lalu mengadakan konser di Singapura, bahkan White Shoes and The Couple Company pun baru-baru ini berhasil mentas di negeri Paman Sam.

Bila dibandingkan dengan perjuangan salah satu dedengkot musik indie bandung -yang mungkin bisa dibilang nasional juga- Pure Saturday harus bersusah payah di tahun 1995 yang akhirnya dapat menelurkan sebuah album perdana. Banyak pengamat mengatakan ini merupakan sebuah perjudian. Meski langkah nekat ini bisa dibilang berhasil meski tidak setinggi penjualan band-band label besar seperti Basejam atau Dewa19 di saat itu.

Seiring perjalanan, musik indie pun sempat turun pamor, hingga segerombolan anak muda mulai membangkitkan kembali scene ini yang sempat vakum terlibas musik-musik yang lebih familiar di telinga masyarakat Indonesia. Segerembolan anak muda dengan ciri khas masing-masing, yang bisa dikatakan era indie tahun 2000-an lebih berwarna, yang tidak melulu beraoma Britpop maupun Britrock yang biasa digembar-gemborkan oleh The Cure, Oasis, Manic Street Preacher, Blur atau The Cardigan.

Mereka sekarang lebih berwarna, Sebut saja Sore, dan White shoes and The Couple Company. Cukup keluar dari unsur upbeat. Terkesan lebih manis, meski masih ada keseragaman dengan banyak mengambil sound old school, dan nuansa vintage, baik dari lagu, fesyen, maupun aksi mereka di atas panggung. Bahkan band indie bergenre yang keluar dari “peradaban” telinga genre indie yang lain, Homogenic berhasil masuk nominasi Best Contemporer Artist di AMI Awards 2004.

Dan justru di sini sebenarnya daya jual dan daya tarik musisi dari scene indie, penampilan yang benar-benar berbeda, loyalitas fans yang luar biasa, meski untuk pangsa pasar yang terbatas. Musik memang bahasa yang paling universal, dia bisa berbicara apa saja, meski tidak laku dijual, tapi tetap enak didengar, setidaknya bagi penciptanya sendiri.


Jakarta, 4 Oktober 2008, 16.00 WIB

~ 0 komentar: ~

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About