Sabtu, 09 Agustus 2008

Sisa Hidup Kemarin




 

Tak ada yang berubah dari tahun ke tahun, bulan ke bulan bahkan detik ke detik. Semua terasa konstan, nyaris tak ada perubahan yang berarti selain harga bensin yang terus bergerak bertolak belakang dengan dengan apa yang aku makan beberapa hari ke depan. Hidup di dunia ini memang susah-susah gampang, kadang bila lagi mujur, aku bisa makan tiga kali sehari. Tapi jangan harap kalau pancaroba telah merusak tatanan nasib bagus ku, sekali makan sehari saja sudah untung.

Aku memang besar dari keluarga yang bisa dibilang sangat payah. Pergi dari tanah kelahiran untuk menimba ilmu di Ibukota, dengan modal yang lumayan memprihatinkan bahkan aku pikir ini seperti terjun bebas. Sering aku mengeluh, mampukah aku mendapatkan apa yang aku cita-citakan selama ini? Sementaraurusan perut tak pernah mau diajak kompromi. “Huh, lelah rasanya mengeluh tanpa hasil seperti ini, buang-buang energi saja,” pikirku dalam hati.

Sudah dua hari ini aku tidak bisa tidur, pikiranku larut akan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, buku-buku perpustakaan yang belum sempat dikembalikan, serta utang-utang makan hari kemarin di warung tegal itu. Sekarang sudah pukul 3 pagi, mata ini tidak mau diajak kompromi, pikiran ini tidak mau terdiam, seperti terbang ke dalam mimpi dan terus berhalusinasi. Tapi aku harus tidur, karena besok aku sudah harus berangkat kuliah pukul 7 pagi.

Entah kenapa, aku masih tidak bisa tidur juga. Pikiranku terus berputar-putar tak menentu, seperti labirin yang tak berujung. Kadang-kadang ingin menulis, kadang mengoceh kepada poto-poto bisu tak bersahabat. Malah kadang ingin buang air, tapi tidak mau keluar-keluar! “Hah, kenapa ini, tugas-tugas kuliah seperti ingin membuat logika ku menjadi keblinger! Beban kehidupanku membuat aku tidak lagi merasakan ketenangan,” tanyaku kepada poto sahabat-sahabat ku. Tapi mereka tetap diam, namun terlihat seperti ingin mengejek ku mungkin karena aku tidak bisa buang air malam ini.

“Coba kalau dipikir, bulan saja sudah mulai muak memperhatikan ku dari tadi, kini dia sudah mulai meninggalkanku. Tapi untuk apa aku membicarakan dia, toh aku juga tidak membutuhkan dia!,”  ketusku kepada buku-buku perpustakaan jelek itu. Aku mulai meluruskan pikiran-pikiranku, menjadi sebuah garis lurus yang mudah-mudahan tidak akan putus. Namun semakin aku meluruskan pikiran itu, aku semakin berputar-putar pada titik-titik disekitarnya.  “Aduh, jangankan tidur, menenangkan diri saja aku tidak bisa. Bisa-bisa aku tidak kuliah lagi besok, atau mungkin seperti biasa, aku akan terlelap manakala mahaguru asik menggurui mahasiswanya,” lagi-lagi aku mengeluh.

Aku jadi teringat peristiwa tadi siang, aku mampir ke tempat Senja, teman kuliah ku yang juga satu kampung, karena kami sama-sama dari Semarang. Aku bermaksud meminjam beberapa buku catatan sejarah politik Eropa Timur. Dengan senang hati, tidak hanya dia meminjamkan beberapa buku kusamnya itu, namun juga memberikan pencerahan kepadaku mengenai busuknya politik itu, tidak hanya jahat, tapi juga mengerikan. “Kamu tahu jan, bahwasanya politik itu sungguh menyebalkan, dia tidak mengenal lokasi, dimensi, waktu, ras, bahkan agama. Politik itu busuk, sebusuk ketika buah yang telah kau makan mendekam di dalam lambungmu beberapa waktu,” jelas Senja berapi-api.

“Hujan, hujan…, kenapa persoalan mendasar seperti itu saja kau tidak tahu,” sindirnya sambil sedikit menyengir seakan mau mendorong ku ke dalam sebuah jurang yang berisi orang-orang idiot bertumpuk-tumpuk di dalamnya. Sebenarnya aku sudah mengetahui tentang logika anehnya mengenai politik universal. Namun yang tidak aku mengerti mengapa sudah tahu busuk namun dia tetap mempelajarinya. Mungkin menurutku dia menyukai hal-hal yang berbau busuk. “Kalau aku, mending buah itu busuk di dalam dari pada busuk di luar, maksudnya busuk karena aku cerna daripada didiamkan malah busuk sendiri, mubazir itu mah,” selorohku sedikit bercanda.

Aku kembali dari ingatan tadi siang, menuju pukul 4 dini hari. Masih saja berkutat dengan ingatan-ingatan menjengkelkan, tanpa tahu kapan aku bisa beristirahat dengan tenang. Bagaimana kalau aku menyibukan otakku untuk berdebat dengan diriku sendiri, baik, aku bertanya sekarang, ”mengapa aku harus menikmati hidup tanpa ketidakjelasan?” Aku tidak menginginkan keadaan ini, tapi aku tetap menjalaninya. Kita ambil contoh malam ini, aku tidak mau melelahkan diri dengan pikiran-pikiran liar yang terkadang dapat membuatku terperangkap sendiri. Aku hanya ingin tidur malam ini, tapi otak ini terlalu liar untuk kujinakan barang sejenak.

Sebenarnya aku tidak mau ini terus berlanjut. Bebanku setiap detik bertambah berkali-kali lipat, tanpa terlihat. “Bagaimana jika aku mencari Tuhan, aku dengar Dia tahu segalanya, Dia bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kotorku,” gumamku dalam hati. Hanya ada satu cara untuk menjelaskan semua ini, aku memang harus bertemu dengan-Nya. Dan aku tahu bagaimana caranya untuk bertemu dengan-Nya. Kupotong nadi ini tepat sebelum adzan subuh, sebelum teman-temanku terbangun. Dan ketika bertemu Dia pertama kali yang akan aku tanyakan,”Sisa hidup kemarin itu busuk, apa aku memang pantas mendapatkannya Tuhan?”  

 

 

 

 

  

~ 0 komentar: ~

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About