Rintik masih tidak mau bersahabat dengan diriku hingga malam ini. Terus membasahi setangah tubuhku yang semakin menggigil diterpa hawa dingin trotoar ini. Rasa lelah mulai merangkak lambat sampai ke persendian di seluruh tubuh. Sepatu ini pun sudah basah, karena sering bercengkrama dengan kubangan yang semakin ramai dijumpai. Hewan-hewan malam mulai melindungi diri dari hawa dingin terkutuk ini. Hening malam mulai mencekam, suara kendaraan hanya terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Sekarang sudah pukul satu pagi. Aku masih berkeliaran di trotoar kampus yang begitu mencintai alam, terlihat dari begitu banyaknya pohon yang ditanam di lahan kosong ini. Pikiranku masih tertinggal jauh di rumah Annya, teman wanita ku, yang baru saja aku ajak pergi. Kami memang sudah lama mengenal satu sama lain sejak SMA. Dan kami pun masuk ke sebuah perguruan tinggi yang sama, bahkan fakultas yang sama juga, Fakultas Sastra.
Ketika pertama kali duduk di bangku kuliah, aku dan Annya tidak terlalu dekat. Kami jarang berbicara, hanya sekadar menegur, bahwa kami memang sudah mengenal sejak lama. Terkadang kami berpapasan, namun hanya saling menyapa dan tersenyum basa-basi. Setidaknya saat itu dia adalah kekasih temanku, Aleksey. Apalagi, di awal masa kuliah, aku tidak banyak memperhatikan mahluk lawan jenis, sehingga Annya benar-benar luput dari perhatianku.
Annya, adalah gadis yang cantik. Banyak teman-temanku yang menyukainya, “Coba kau lihat Annya, semakin hari ia semakin memesona, betul ‘kan?,” kata Sergey meyakinkan. Aku tidak menggubris ucapannya pada waktu itu. Namun, aku sempat berpikir, Annya memang cantik, baik, ceria, dan yang hampir tak mampu dicerna oleh otakku adalah, dia selalu tersenyum. Bahkan sepanjang hari, seperti tidak memiliki beban hidup sama sekali.
Aku mulai mengenal lebih dekat dengan Annya justru ketika aku sedang menyukai gadis lain. Yang tidak lain adalah sahabat Annya. Aku mulai berbincang-bincang dengannya. Bagaimana tidak, gadis yang kudekati itu selalu bermain dengannya. Hampir setiap hari mereka bersama, dan mau tidak mau aku mulai dekat juga dengan Annya.
Hingga pada akhirnya, Natalya, gadis yang kucintai itu menjawab semua doaku selama ini. Semakin dekat aku dengan Natalya, semakin aku mencintainya. Ia begitu sederhana, begitu ceria, begitu sempurna. Dan begitu pula dengan Annya, aku semakin sering berbicara dengannya. Karena mereka memang bersahabat, aku semakin mengenal Natalya berkat cerita-cerita yang dikatakan Annya. Kadang, banyak cerita-cerita yang sama sekali aku belum tahu, tapi terkadang ada beberapa cerita yang sepatutnya aku tidak dengar.
Suatu hari, aku dan Natalya bertengkar hebat. Yang akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Hari itu aku begitu emosi, tidak mampu berpikir jernih. Seluruh isi kepalaku dipenuhi dengan kebencian, sumpah serapah, cacian, bahkan beberapa pikiran kotor yang tidak pantas. Natalya benar-benar berubah setelah dia mengenal Dimitri. Ia lebih sering berbohong, terlalu sering menuntut, dan setiap sesuatu yang aku lakukan tidak pernah benar. “Aku tidak mau bertemu kamu hari ini, aku sedang sibuk, menyiapkan bahan-bahan untuk ujian besok,” ketus Natalya waktu itu. Padahal aku tahu, besok ia tidak ada ujian sama sekali. Sikapnya mulai berubah, dan aku sudah tidak tahan lagi. Semua ini harus berakhir.
Semenjak kami berpisah, aku mulai jauh dari Natalya, bahkan aku sudah sama sekali tidak berhubungan juga dengan Annya. Setelah beberapa bulan aku mendengar kabar bahwa Annya sudah berpisah dengan Aleksey. Aku mulai menghubungi Annya, karena kupikir, mungkin aku dapat menghiburnya.
“Annya, sudah lama kita tidak berbicara, kemana saja dirimu?,” tanyaku saat aku menemuinya di perpustakaan Fakultas.
“Hey Pavel, tumben kamu ke perpustakaan, angin apa yang membawamu ketempat paling membosankan ini?,” tanya Annya sambil memegang buku besar ensiklopedi Eropa Timur.
“Kenapa kau malah bertanya kembali? Aku memang mencarimu tadi, ada yang ingin aku bicarakan kepadamu,” ujarku dengan sedikit memelankan suara, karena memang suasana di tempat ini begitu tenang.
“Tampaknya kau akan berbicara tentang sesuatu yang penting sekali, sampai-sampai kau mencariku hingga ke tempat yang paling tidak kau inginkan ini, hahaha..,” balasnya sambil sedikit mengejekku, karena memang aku paling malas untuk pergi ke perpustakaan. Di tempat ini suasananya begitu memuakkan, mereka yang sering ke tempat ini terlalu asik dengan kepentingan pribadi masing-masing. Yang seakan-akan terbuai dengan dunia baru di dalam genggaman mereka. Dalam tiap-tiap lembar waktu, dalam tiap bab-bab kehidupan yang hanya bisa mereka perhatikan tanpa melakukan sesuatu apapun.
Aku dan Annya semakin dekat, kami sering berbicara, bahkan tidak jarang aku mengajaknya plesiran ke tengah kota. Aku menemukan kembali hidupku setelah beberapa waktu lalu berserakan di tengah jalan. Annya benar-benar membuatku kembali dari hibernasi terhadap kebahagiaan. Dan hari ini aku baru saja dari rumahnya, setelah seharian melihat-lihat sudut-sudut kota tua yang memang menjadi kegemaran kami berdua. Yah, hari ini aku benar-benar seperti dilahirkan kembali.
Hingga pada langkah terakhir menuju tempat kostku, aku terhentak. Aku tidak boleh meneruskan kebahagiaan bodoh ini. Annya begitu perhatian kepadaku, bahkan hari ini dia pun begitu manja kepadaku. “Ini sebuah kekeliruan besar! Kesalahan seorang anak manusia yang merasa sudah bangun dari hibernasinya!,” pikirku dalam hati. Ada pertanyaan besar dalam diriku, “Apa yang sebenarnya aku lakukan? Untuk apa aku melakukan ini semua?” Aku harus menjauhi ini semua, aku tidak mau hidup dalam perasaan ini.
Aku mulai melakukan percakapan dengan pikiranku,” coba kau tanya pada dirimu sendiri, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Selalu tersenyum atau sebuah situasi di mana kau benar-benar nyaman?” Aku mulai tidak mengerti, saat ini aku merasa bahagia. Tapi tidak beberapa lama aku merasakan ada sesuatu kerinduan. Kerinduan akan suatu kondisi di mana hampir setiap hari aku benar-benar menikmatinya. Kesendirian, kehilangan, rasa sakit, yang benar-benar setia menyapaku setiap hari itu mulai hilang. “Kemana mereka? Aku benar-benar rindu dengan mereka!,” tanyaku dalam hati. Aku mulai mencari-cari mereka, “bersembunyikah mereka di antara relung-relung gelap otakku? Atau mulai tergusur oleh keceriaan dan kebahagiaan ini?”
Sekarang sudah pukul empat pagi. Aku begitu bodoh meninggalkan rasa sakit itu untuk bertemu sebuah kebahagiaan. Aku begitu tolol meninggalkan kesendirian ini untuk menyapa sebuah keceriaan. “Benar, aku harus mengakhiri kebahagiaan ini secepatnya, aku harus menemukan kembali rasa sakit dan kehilangan itu, “ ujarku dalam hati. Aku benar-benar seorang pengkhianat, aku meninggalkan mereka yang selama ini begitu setia kepadaku, begitu perhatiaan kepadaku. Aku merasa tak lebih rendah dari anjing kurap yang menggigit majikannya setelah diberi makan.
Dan pagi ini aku sudah memutuskan untuk mencari penderitaan itu. Karena aku yakin tidak ada yang lebih nyata di dunia ini selain penderitaan. Tidak ada di dunia ini yang begitu setia kepadaku selain rasa sakit. Dan tidak ada yang lebih nyaman bagiku selain kesendirian, menikmati setiap detik waktu dengan kehilangan. Aku begitu idiot untuk melupakan ini semua untuk sebuah kebahagiaan yang hanya akan mati seperti bara yang tersiram air hujan. Seperti abu yang terbang tertiup angin. Seperti es yang meleleh karena terik matahari. Kebahagian itu tidak sekekal penderitaan. Karena hidup memang selalu di sapa oleh rasa sakit, kehilangan, dan penderitaan.
~ 0 komentar: ~
Posting Komentar