Sabtu, 09 Agustus 2008

Aku, Waktu dan Kursi Dorong




 

Perjalanan waktu berjalan seperti biasa, namun mengapa terasa begitu cepat bagiku. Seperti tak mau berhenti barang sedetik pun. Mungkin dia akan berhenti, kalau saja jam itu rusak, karena aku memang membelinya di Pasar Rumput beberapa waktu yang lalu. Dan walaupun telah berhenti, tapi itu hanya waktu yang ada di tanganku saja. Bukan waktu yang ada di muka bumi ini.

 

Berbicara masalah waktu yang terus berputar, terkadang aku merasa putus asa mengapa jalan hidupku tidak sesuai dengan waktu. Bayangkan saja, saat waktu terus memilin kehidupan setiap detik, setiap menit, setiap jam bahkan abad, aku hanya terdiam memandangi jam butut yang tak mau menyala lagi. “Sudah bebal tampaknya jam ini, berkali-kali ku hina dengan sumpah serapah pun dia tetap tak berkutik. Sudah tuli rupanya waktu ini?” Aku mengumpat sekeras hati. Hah, aku bahkan mulai berkeringat saat ini karena waktu yang tidak mau berubah itu.

 

Aku tidak kehabisan akal, coba ku bongkar pasang waktu ini, mulai dari mengganti talinya, yang sebelumnya dari kulit palsu yang kusam, kini lebih bagus karena sudah ku cat. Tapi tetap saja tidak mau bergerak barang sedetik pun. “Aneh, apa maunya waktu ini, mengapa dia menjadi begitu manja! Sebentar, bagaimana bila waktu yang saat ini sudah melingkar di tangan kiriku akan kupindahkan ke tangan kanan ku, mudah-mudahan dia sudah mau bergerak-gerak,” gumamku sambil tersenyum.

 

Hey, aku mulai panik, mengapa waktu ini terus membandel. Aku mulai kehabisan ide untuk membuatnya sekadar bergerak, atau mungkin bergeser dari angka satu ke angka dua. “Apa beratnya bergeser dari angka satu ke angka dua, jaraknya tdak sampai satu kilometer kan? Bahkan aku tidak menyuruhnya berlari, hanya sedikit bergeser,” pikir ku menjadi-jadi. Aku melihat ke arah waktu yang lebih besar, mungkin dengan diameter sekitar 30 cm, dan terletak tepat di atas meja komputerku. Saat ini sudah pukul 10 pagi, dan aku masih sibuk dengan waktu kecil di tangan yang tak tahu diri ini. Sementara beberapa teman di kamar sebelah sudah berangkat untuk mengikis kas perusahaan dengan beban-beban konyol mereka.

 

Sebenarnya hari ini aku berencana untuk pelesir ke daerah Kota, atau mungkin aku bias berjalan-jalan sampai Pasar Baru. Namun aku tak akan pernah keluar dari rumah persegi ini sampai benar-benar waktuku berputar. “Bagaimana aku bisa melihat waktu nanti, kalau waktu yang paling dekat dengan mataku saja tidak mau diajak bekerja sama,” gerutuku dalam hati. Udara di Cikini semakin panas, peluh mulai membanjiri sekujur tubuhku. Padahal, ada plat besi yang terkurung di sangkarnya terus menerus berputar ke arahku untuk menghembuskan udara, yang tampak telah tercemar asap angkot di luar sana.

 

Aku tinggal di tempat yang tidak lebih dari separuh halte bus, penuh sesak dengan perabotan kusam yang bisa aku kumpulkan dari Pasar Rumput. Hmm, berbicara tentang Pasar Rumput, aku punya banyak pengalaman di sana. Suatu pagi yang dingin, hah agak berlebihan tampaknya menggambarkan Jakarta terasa dingin di pagi hari. Bahkan di malam hari saja, aku harus melepaskan kaus saat menjelang tidur, benar-benar Jakarta begitu panas saat ini. Kembali ke Pasar Rumput, Jakarta yang telah terinvasi oleh mal-mal modern, tetap tidak menggetarkan hatiku untuk selalu setia berbelanja di pasar ini. Pagi itu, aku menemukan sebuah kursi dorong yang biasa digunakan oleh mereka yang tak mampu berjalan serta sebuah jam tangan. Entah ada faktor mistis apa yang membuatku begitu tertarik untuk membeli dua benda usang ini. Meski bekas, ternyata kursi dorong ini masih mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan jam kulit, yang sebenarnya tidak jelas kulit asli atau palsu.

 

Kadang aku berpikir, mungkin ini yang biasa di sebut orang cinta pada pandangan pertama. Sekali melihat, aku langsung lemas, terpedaya, seakan ada sebuah dorongan besar yang memaksaku untuk memilikinya. “Lihat kursi ini, begitu unik sekali, aku akan menjadikannya sebagai kursi kerjaku, lalu coba perhatikan jam ini, meski kusam tapi dia masih bias berputar, aku begitu terkesan oleh perjuangan jam ini melawan waktunya sendiri,” kataku dalam hati.

 

Kemudian, setelah menyelesaikan transaksi yang berlangsung cukup alot, aku menghentikan bajaj yang sebelumnya berjalan lambat di dekatku. “Mas, kalau sampai stasiun Cikini berapa yah?” tanyaku pada supir bajaj yang terlihat tidak bersahabat, peluh yang membanjiri seluruh raut wajahnya, serta handuk kotor yang melingkari sebagian lehernya. Dengan pandangan yang seakan-akan ingin menelanku bulat-bulat ia memberikan jawaban, Lima belas ribu gmana? Udah murah tuh,” selorohnya dengan suara berat, dan tampak bermalas-malas meladeniku.

 

“Ah, ‘kan dekat, lima ribu aja yah,” lanjutku sedikit memohon, tapi memang sebenarnya aku hanya mau membayar sebesar itu. Aku berpura-pura mengambil duit di dalam kantong bolong yang sebenarnya tidak ada apa-apa selain aku bisa memegang pahaku sendiri tanpa hambatan kain dari celanaku. “ah, situ kan bawa barang, tambah berat, ya udah kalau sepuluh ribu kita angkut dah,” jelasnya lantang, dan aku pikir agak terkesan memaksa, dan ia seperti terburu-buru sekali. Padahal diskusi kita belum selesai mengenai ketetapan harga ini.

 

“Oke, tujuh ribu lima ratus, saya mau, kalau tidak ya sudah saya cari bajaj yang lain,” putusku memaksa.  

 

Yah itulah kenapa akhirnya aku ditakdirkan bertemu dengan waktu yang ternyata saat ini tidak mau berdiri menjadi waktu yang sebenarnya. Saat ini dengan berulang kali aku memperhatikan arloji ini dari atas kursi dorong kesayangan dia tetap tidak mau berubah. Sebentar, setelah kuperhatikan lebih jauh, aku ternyata mirip dengan waktu ini, sama-sama keras kepala, pendiam, setia. Untuk kata setia, selama ini waktu tersebut yang selalu menemaniku, dan memang aku juga begitu setia dengannya. Terkadang aku berpikir bahwa kami memang ditakdirkan untuk selalu bersama betul kan?

 

Kalau saja waktu itu tahu, kenapa hingga saat ini aku tidak mau menggantinya, yah karena dia memang cinta pertamaku bersama dengan kursi dorong ini.

 

 

 

 

~ 0 komentar: ~

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About