Rabu, 04 Januari 2012

Bola Wol dan Kamu.






Berguling-guling dari satu sudut kesudut yang lain. Bingung, sempat berhenti sebentar lalu berputar tak tentu arah. Tidak beraturan, kadang pelan sekali berputar, tiba-tiba kencang seperti akan datang kiamat saja. Tidak jelas maunya apa, sebagian diriku seperti tercerai-berai akibat dorongannya. Tangannya yang mencengkram kuat benar-benar seperti tak mau lelah mempermainkanku.

Kalau diperhatikan seleuruh tubuh ini mulai sedikit lecet karena benturan-benturan tadi. Sedikit, apa yah? Mungkin banyak orang bilang tidak sinkron dengan posisi sebelumnya. Bayangkan saja hampir satu jam lebih aku berputar kian kemari, bentur kanan bentur kiri. Siapa yang sanggup bertahan pada kondisi seperti ini?

Kejadian tadi sebenarnya tidak terlalu rumit, dan cenderung sepele. Aku terjatuh dari meja itu, siang hari, tidak lebih dari pukul 2 siang. Entah apa yang membuat diriku terjatuh, sama sekali tidak ingat. Tapi, terakhir yang aku dengar sebelum aku terjatuh adalah suara keras dari ujung meja makan. Ada sedikit getaran lalu tiba-tiba sudah di bawah meja dengan posisi sedikit berdekatan dengan kaki kursi yang tepat berada di depannya.

Sedikit membenahi diri dan agak menyender dengan kaki kursi itu, agak terengah-engah dan kaget. Sakit sekali ternyata tarjatuh dari meja gumamku dalam hati. Melihat sekeling begitu sepi, hening, sedikit bingung, kemana perginya suara tadi. Suara yang membuat aku tersungkur di lantai dingin ini. Suara yang sebentar sekali terdengar memekakan telinga lalu pergi tanpa pamit.

Lalu, aku ingat, aku terpental beberapa kali, seperti yang aku ceritakan di atas. Semuanya begitu tiba-tiba, hantaman demi hantaman ini terus berulang-ulang. Sama sekali tidak memberi ruang bagiku untuk sekadar berlindung, apalagi beristirahat. Benar, aku masih ingat dengan jelas, dia itu mahluk kurus, tinggi, entah kenapa sebenarnya dia itu tidak begitu menyeramkan. Namun kelakuannya itu menjengkelkan, mendorongku terus menerus.

Suaranya pelan, seperti sedang memelas, sama sekali merasa tak berdosa, dan lagi-lagi mendorongku kian kemari. Tak jelas apa maunya, seakan matanya begitu kosong, sama sekali tak bisa kubaca. Tapi ada sedikit kebingungan di raut wajahnya, bingung akan diriku, bingung akan mahkluk (atau mungkin dia pikir aku benda) aneh yang tidak mengerti harus bagaimana menghadapinya.

Satu dua kali dia menyerangku, tanpa ragu-ragu, beberapa menit kemudian menatapku dengan seksama. Suara pelannya seperti bertanya siapa aku? Apa mauku, lalu kemana ada di sini? Suara pelannya seakan hendak berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak bisa aku mengerti. Tangannya mulai menyentuh tubuhku pelan beberapa kali, lalu tangan satunya yang lebih kuat mendorongku, menarikku, mendorongku lagi dan menahanku.

Aku merasa dipermainkan olehnya, seperti sebuah layangan yang dengan sekuat tenaga diterbangkan, lalu ditarik lagi lalu dilepas lagi (sebenarnya tidak benar-benar dilepas, karena masih ada sehelai benang yang mengikatnya). Aku merasa muak lama kelamaan, mengikuti permainannya, lelah mengikuti apa maunya, dan benar-benar bosan melihat wajah lugunya yang seakan-akan tak berdosa mempermainkanku.

Menit demi menit emosi ini kian terkumpul, mulai memuncak dan tanpa sadar aku berteriak, “Apa maunya kamu sih?!” meski hanya di dalam hati. Meski amarah sudah berkumpul di raut wajah ini, dengan keringat serta alis mata yang mulai meruncing. Seluruh tubuhku mulai gemetar, serasa emosi ini sudah merata di seluruh aliran darah ini.

Lalu, tiba-tiba wajahnya begitu memelas, tepat setelah mendorongku terus-menerus selama beberapa menit (hampir muntah rasanya, seperti mabuk laut di atas kapal tongkang). Wajah ini begitu… ah bingung aku menjelaskannya. Kalau mau dijelaskan (dengan terpaksa) mungkin begini perumpamaannya, seperti panci panas sisa memasak Indomie, tiba-tiba diguyur air dingin. Hilang semua emosi sebesar gunung tadi hanya karena wajahnya, hanya karena dia berhenti sesaat dan membelaiku dengan ramah. Hilang karena dia tanpa suara seakan memberikan tatapan hangat yang begitu menyenangkan.

Dalam hitungan menit, dia kembali lagi seperti monster tanpa ampun memutarku kesana kemari, tanpa ampun membekapku dan memukulku dengan tangan kurusnya itu. Dan beberapa menit kemudian, seperti sedang beristirahat, dia berhenti. Rasanya dia seperti Aphrodite cantik yang memperhatikanku siang malam. Bagaikan kupu-kupu cantik yang hinggap dipundakku bersama pola indah di sayapnya. Bagai air di tengah gurun yang meski fatamorgana begitu menyenangkan melihatnya.

Betul, kamu, memang hanya kamu (saat ini), selalu mempermainkanku namun berkali-kali aku justru makin pasrah kepada dirimu. Betul kamu, tolong,! Aku sudah begitu bahagia dengan permainanmu, sekarang biarkan aku membenahi diri sebentar, lalu kita bermain lagi. Saat benang di seluruh tubuhku sudah aku rapikan kembali. Saat gulungan punggung ku tidak kusut lagi. Saat kamu pun sudah tidak terlalu lelah dengan lompatan-lompatan impulsifmu.

“Beberapa menit lagi mungkin bukan kamu yang memulai permainan ini, tapi aku yang akan menggelinding kearahmu (dengan sengaja) untuk sekadar mencari perhatianmun,” jelas gulungan bola wol kepada kucing sambil tersenyum.



Fatmawati, 4 Jan 12

~ 5 komentar: ~

fathia says:
at: 5 Januari 2012 pukul 19.20 mengatakan...

kkkkkkkkkkyyyyyyyyyyaaaaaaaaaaaaaa

Satu Luka says:
at: 6 Januari 2012 pukul 11.43 mengatakan...

YESS hahaha!!!

Unknown says:
at: 12 Januari 2012 pukul 18.31 mengatakan...

cep cep cep

Jono says:
at: 16 Januari 2012 pukul 10.02 mengatakan...

siyalan munceee!!

Maw says:
at: 21 Februari 2012 pukul 00.00 mengatakan...

haduuuh jono... baca dari ujung sampe ke bawah akhirnyaaa...
tulisannya bener2 puitis...

good :)

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About