Selasa, 12 Agustus 2008

Secangkir Kopi dari Surga





Aspal hitam terus mengikis roda-roda kehidupan kota metropolitan. Membakar setiap asa yang melewatinya, mendidihkan setiap peluh yang berjatuhan hanya dalam hitungan detik. Teriakan kuda-kuda besi memekikan gendang telinga para pencari asa di pinggir-pinggir jalan. Terik, begitu kejam mengeringkan setiap air semangat yang kutelan setiap gelasnya.

Satu-satu asap hitam menyesakan aliran udara dalam paru-paru ini. Tak ada lagi tempat berteduh di tengah jalan berpasir dan berdebu ini. Setiap langkah terasa berat, dan perih. Entah apa yang membuat kota ini begitu tidak bersahabat untuk disinggahi. Aroma kebusukan semakin menyengat, tidak hanya di tempat-tempat sampah yang tidak terurus, tapi juga di gedung-gedung pemerintahan di sebelahnya.

Apa yang harus aku tulis siang ini? Pembunuhankah? Pencuriankah? Atau kasus mutilasi yang sedang “in” belakangan ini. Aku sudah muak dengan hal-hal negatif yang terus digembar-gemborkan di setiap media massa akhir-akhir ini. Tidak adakah kehidupan yang lebih indah barang sedikit pun. Tapi justru hal seperti inilah yang membuat sebuah berita begitu digemari. Benar-benar telah terjadi kekacauan dalam pikiran masyarakat.

Berita-berita sakit seperti ini ternyata membuat jumlah oplah menjadi cukup meningkat dengan signifikan. Berita-berita sakit ini menjadi pergunjingan pelbagai pihak, dari segelintir operator pompa bensin hingga beberapa bangkir papan atas yang selalu menghitung pergerakan Dollar setiap harinya. Apakah berita-berita sakit ini juga bisa merepresentasikan keadaan masyarakat yang sakit juga?

Pergulatanku dengan berita memang telah dimulai sejak duduk dibangku SMA. Kemudian saat dibangku kuliah aku terus mengembangkan minatku dengan membuat sebuah majalah kampus. Namun semua itu telah berlalu, setelah lulus dari perguruan tinggi aku memasuki dunia yang lebih liar, lebih kejam dan lebih buas. Dalam hitungan detik senyum bisa berubah menjadi amarah, dalam beberapa detik kemudian bisa menjadi amuk. Yah amuk, amuk akan kekotoran kehidupan yang baru terlihat dengan begitu nyata.

Setelah lulus kuliah, aku melamar di sebuah surat kabar harian nasional untuk menjadi seorang wartawan, atau aku dan beberapa kawan seprofesi menyebutnya buruh tinta. Tidak beberapa lama lamaranku diterima di sebuah surat kabar harian ibukota sebut saja Harian Kritis. Pertama kali ditugaskan, aku membantu sebuah rubrik yang cukup keras, yaitu kriminal dan metropolitan. Karena tugas inilah aku begitu dekat dengan dunia kriminalitas ibukota. Bahkan sebusuknya seorang pembunuh, ada yang lebih busuk lagi, yaitu mereka yang melakukan korupsi di atas tanah busuk ini. Mual jika terus menerus memikirkannya.

Kembali ke masyarakat yang sakit, jadi teringat akan dialogku dengan seorang rekan buruh tinta yang lain. Sebut saja dia dengan nama Akher, laki-laki kurus, dengan rabut belah tengah ala tahun 90-an awal, dan stelan pakaian yang berantakan. Akher, memang teman seperjuanganku baik di bangku kuliah maupun di dunia perburuhan tinta. Selalu setia dengan rokok yang tak pernah berhenti dia bakar di depan mulutnya itu.
“Masyarakat memang sedang sakit, tapi kita jangan ikut-ikutan sakit. Kita di sini hanya menyampaikan fakta yang ada, nggak perlu ditutup-tutupi, apa adanya saja, toh mereka sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah,” jelasnya saat kita berdua sedang minum kopi di warung tegal tepat di depan sebuah markas kepolisian di wilayah Jakarta Selatan.

“Dan justru berita busuk seperti ini yang saat ini sangat digemari masyarakat, bisa meningkatkan oplah kita ‘kan?,” desak Akher kepadaku. “Jadi menurutmu, kita harus menulis semua kebusukan itu mentah-mentah kepada masyarakat?,” tanyaku padanya.
“Tidak juga seperti itu, tapi kita melihat semua kenyataan tanpa ditutup-tutupi,” jelas Akher sambil menghisap asap rokok lebih dalam. “Tanpa sensor maksudmu?,” tanyaku langsung tanpa berpikir panjang. “Kita tidak bisa menutupi sebuah kebusukan kawan, apa adanya saja, aku tidak mau kebebasan pers yang semu, kalau dia salah katakan salah, kalau dia busuk yah katakan busuk, bahkan kalau istrimu selingkuh yah katakana selingkuh,” jelasnya diiringi tawa yang menyebalkan itu.

Aku berpikir sejenak, kepala ini penuh penolakan tentang semua argumen yang barusan dilontarkan dari mulut Akher bagai senapan mesin yang dalam hitungan detik telah mengeluarkan berpuluh-puluh timah panas dari moncongnya. Apakah kebebasan pers ini begitu terbuka, begitu transparan atau bahkan begitu telanjang? Tidak ada lagi kontrol sosial? Tidak ada lagi pertimbangan kebutuhan berita? Semuanya di lempar ke publik mentah-mentah begitu saja?

“Gus, kenapa diam saja? Bagaimana menurutmu tentang pendapatku tadi?,” sentak Akher membangunkanku dari pikiran-pikiran penuh keraguan ini. “Aku jadi punya pertanyaan besar dikepalaku saat ini ‘Kher, bukankah kita juga memerlukan kontrol sosial dalam setiap pemberitaan, kita harus kembali menelaah mana yang pantas maupun tidak pantas ‘kan?,” tanyaku. “Apa parameter “pantas” dan “tidak pantas” itu menurutmu ‘Gus?,” tanyanya tanpa bepikir panjang.

Benar sekali dugaanku, hingga dititik ini aku mulai ragu-ragu dengan pendapatku sendiri. “Parameter itu adalah hati nurani ‘Kher, kamu bisa membuat sebuah peristiwa begitu telanjang di depan publik, tapi coba kamu pikir, apakah kamu “memang” memiliki hati nurani untuk bisa menelanjangi setiap peristiwa yang kamu lihat?,” jawabku perlahan sambil berusaha mencari referensi baru mengenai perdebatan ini. “Kalau parameternya adalah hati nurani, tidak ada peristiwa busuk seperti ini, jangankan peristiwa ini dapat tercium oleh kita, dimulai saja belum!,” jelas Akher sambil menyeruput segelas kopi kental panas.

“Itu benar ‘Kher, jika semua berdasarkan hati nurani, tidak akan seperti tanah air kita yang tercinta ini, jika semua berdasarkan hati nurani, tidak akan ada kemaksiatan di sekitar kita, tidak ada korupsi terhadap uang rakyat. Bahkan jika kita memang masih memiliki hati nurani, kita tidak akan sampai hati melakukan wawancara kepada keluarga korban pembunuhan yang masih berkabung setelah keluarganya dibantai dalam semalam,” jawabku pelan.

Setidaknya, meski hati nurani ini mulai diabaikan kita masih berterima kasih bahwa masih ada orang-orang yang memikirkannya. “Jika satu orang saja memikirkan hati nurani ini, layaknya aku meminum secangkir kopi dari surga,” kataku kepada Akher yang kembali membakar batang rokoknya yang kelima siang ini.



Bekasi, 12 Agustus 2008, 01.00 WIB

~ 0 komentar: ~

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About