Sumber foto: www.gaiaonline.com
Dalam keheningan malam, kesunyian merambat masuk ke jantungku. Tetesan air hujan masih terdengar dengan jelas dari dalam kamarku. Dinginnya malam setelah hujan yang begitu deras hampir sepanjang sore ini begitu menusuk tulangku. Hingga aku tak sanggup mandi hari ini. Pikiranku masih diselimuti pertanyaan-pertanyaan yang hingga kini belum bisa terjawab, terlalu banyak beban yang harus kupikul . Begitu banyak filosofi-filosofi rumit yang harus kucerna. Terlalu munafik untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja detik ini. Persetan dengan kenangan, persetan dengan tangisan dan persetan dengan kehancuranku.
Aku bertemu dengannya di sebuah Universitas terkemuka di Jakarta, ketika itu sedang diadakan pertunjukan musik. Aku mengenalnya dari seorang teman kampu. Sebut saja dia Tamara, entah berapa lama kami berbicara, namun yang pasti Aku merasa begitu nyaman berbicara dengannya. Tanpa kami sadari ternyata pertunjukan musik itu telah berlalu begitu cepatnya, ini di luar maksudku, seharusnya aku menikmati pertunjukan musik itu, namun aku malah bertemu wanita cantik dan malah hanya berbicara dengannya. Begitu lama percakapan kami hingga akhirnya tepat pada pukul sembilan malam. Akhirnya aku mengantarnya pulang kebetulan waktu itu aku membawa motor RXking kesangan adikku.
Setelah beberapi hari kami berhubungan, aku merasa semakin dekat dengannya. Tamara begitu mudah membiusku dengan perhatian-perhatiannya. Kata-katanya yang membuatku merasa selalu terbius dengan mudah. Hingga pada suatu hari, aku merasa melompat dari lantai kesembilan gedung rektorat Universitas Negeri Indonesia (UNI) pada hari Senin, tangga 2 Januari 2006 puku 12.05 WIB. Aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri, Tamara, pujaan hatiku berjalan dengan pria lain, dan yang lebih gila lagi mereka bergandengan tangan.
Pada hari-hari berikutnya aku masih tetap berhubungan dengannya, kami masih sms-an, masih sering bertemu. Setelah kejadian itu seorang teman kostku memberikan wejangan-wejangan berat, yang memiliki unsur penderitaan yang begitu mendalam.
“Kamu itu bodoh ‘Bert!,”cetus temanku itu, oh iya namaku adalah Bertrand, aku mahasiswa UNI Fakultas Sastra.
“Maksud kamu?’” tanyaku dengan penuh kebingungan.
“Begini loh temanku yang bodoh atau pura-pura bodoh. Si Tamara itu memang sudah putus sama pacarnya, namun dia ga bisa dengan mudah ngelupain mantannya itu,” jelasnya berapi-api.
“Lah, yang pentingkan dia sudah putus, itu urusanku, biar aku sendiri yang bikin dia melupakan mantannya itu, lihat saja nanti!’” timpalku tidak kalah bersemangat.
“Oke kalau begitu mau kamu, tapi apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu berusaha agar dia bisa melupakan mantannya, sementara apa yang telah kamu lakukan itu memalukan bagi seorang lelaki!,” temanku mulai menceramahiku dengan nada yang cukup tinggi.
“Kamu melakukan hal itu tanpa sadar atau tidak sadar sama sekali? Tempo hari kamu mengantarnya ke PIM 2, hanya agar ia bsa bertemu dengan mantannya, apa itu gak tolol? Atau kamu ingin melakukan itu hanya untuk mencari simpati dia?,” ia mulai menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatku bingung.
“Yah aku sih hanya bermaksud bahwa aku mau melakukan apa saja hanya untuk membuat Tamara tersenyum, cuma itu kok, gak ada yang lain,” jawabku spontan, tanpa berpikir sama sekali
“Serius?,” tanya temaanku lagi
“Beneran, cuma itu aja, walaupun dia akhirnya balikan sama mantannya juga ga papa, setidaknya aku pernah dekat sama dia, punya banyak kenangan indah sama dia, kadang cinta ga harus memiliki, dan yang pasti ga bisa dipaksakan men,” aku menjawab dengan penuh kayakinan, namun dibalik itu semua masih tersimpan keraguankan perasaanku sendiri. Meskipun aku bisa berkata demikian, namun ada sebagian sisi jiwa ini yang melakukan pemberontakan. Satu sisi itu terus mengatakan bahwa aku hanya akan terus menyiksa diriku terus-menerus.
“Masih ada ya manusia seperti kamu? Tapi aku sarankan sebagai temanmu, sudahlah, aku takut kalau kamu seperti itu terus, akan berbahaya bagi dirimu sendiri,” tambahnya.
“Ketika aku mencintai seseorang, aku ingin ini adalah sebuah perasaan cinta yang tulus, mencintai tanpa harus mendapatkan balasan, orang lain boleh bilang aku munafik, tapi itu yang aku rasakan,” Aku tak tahu harus berkata apa-apa lagi, dan temanku pun tersenyum lalu pergi dalam keheningan malam.
Satu bulan kemudian aku mendengar bahwa Tamara kembali menjalin cinta dengan mantannya. Entah apa yang pernah aku katakan dengan temanku dulu, tetapi benar adanya.
Perasaan yang sudah terlanjur besar ini begitu sulit ku taklukan. Aku begitu hancur, begitu hampa, begitu sakit. Ketika aku harus berjalan sendiri, dengan impian-impian kosong. Hingga pada akhirnya aku mengerti bahwa terlalu naïf di dunia ini melihat cinta seperti yang aku kira, namun aku tidak menyalahkan kalau ada manusia seperti diriku.
Ketika aku harus berjalan sendiri, tidak harus selalu melihat ke belakang, dan juga tidak “terlalu” jauh melihat ke depan, hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan. Ketika aku harus berjalan sendiri, aku harus benar-benar tahu kapan aku harus berjalan sendiri. Terima kasih untuk Tamara, mungkin ini belum waktuku mendapatkan mimpi itu. Dan aku akan selalu mengingat dirimu, tidak hanya hari kemarin, hari ini, atau lusa, namun selamanya. Dan aku tidak akan pernah menyesal pernah mencintaimu.
Depok, 14 Februari 2006, 23.40 WIB
Sabtu, 23 Agustus 2008
~ 0 komentar: ~
Posting Komentar