Sabtu, 06 September 2008

Mencari Sunyi yang Telah Pergi




Sumber foto: www.sschurchofchrist.org


Tidak ada satupun di dunia ini yang tidak pernah tidak bergerak. Semua berputar dari titik satu ke titik yang lain. Begitu mengalir seperti air, begitu ringan seperti debu yang terbawa oleh angin. Dan begitu cepat hilang seperti pucuk api di atas bara perapian. Satu gerombolan gajah liar pun senantiasa berpindah dari suatu padang ke padang yang lain tatkala musim kemarau tiba, hanya untuk mencari setetes air pelepas dahaga.

Detik jam dinding kuno di kamarku pun terus berputar, dan baru akan berhenti ketika baterainya sudah habis. Namun, mengapa justru otak ini yang malah berhenti? Di antara semua sisi dunia terus bergerak dan berputar? Terus berlari tanpa lelah sepanjang hari tanpa pernah mau kembali ke masa sebelumnya? Sedangkan imaji yang ada di otak ini justru sangat bertolak belakang. Sangat tidak beraturan, terkadang dapat melompat 2-3 langkah ke depan, terkadang justru berhenti di tempat, atau sempat beberapa waktu lalu mundur tiga langkah ke belakang.

Pernah suatu hari, Aku merasa bahwa semuanya sempat berhenti sesaat, tak ada yang bergerak sama sekali. Semuanya terdiam, tak ada yang berbicara sepatah kata pun, bergerak sedikit pun, bahkan bernapas pun tidak sama sekali. Semuanya tampak mematung, tak berkedip, terdiam pada tempatnya masing-masing. Begitu hening, sunyi, tenang dan membisu. Bahkan jam dinding kuno itu pun tidak mampu menggeser jarumnya sedetik pun.

“Kenapa semua terdiam dan membisu seperti ini?,” tanyaku dalam hati.
“Sudah bosankah semua isi dunia untuk selalu bergerak dan berubah? Sudah lelahkah mereka semua dengan kedinamisan yang senantiasa begitu fluktuatif?,” tanyaku tak habis pikir

“Lalu, apa untungnya mereka semua terdiam? Apakah ini sebuah pemogokan masal yang biasa terjadi di pabrik-pabrik yang selalu dipenuhi oleh buruh-buruh yang bisa dibayar murah? Atau ini merupakan sebuah kelelahan mereka terhadap perjalanan waktu?,” pikirku.

Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah mau berhenti akan kebingungan ini terus mendesakku. Seumur hidupku belum pernah mengalami keanehan ini. Semua berhenti, bahkan kerikil jalanan yang terhempas oleh ban mobil angkutan umum itupun tampak dengan jelas seperti berhenti di udara. Air di pancuran itu pun seperti membeku, tak bergerak sama sekali.

Tidak biasanya kota ini seperti ini. Benar-benar 180 derajat berkebalikan dari biasanya.

“Hay….Kenapa semuanya diam…?,” teriakku sekuat tenaga. Tapi, jangan ‘kan ada yang menjawab teriakanku tadi, malah gema yang senantiasa bersautan dari kejauhan.
“Bisu ‘kah kalian? Kenapa semuanya malah mematung? Apakah kalian tidak bekerja hari ini?,” Teriakku untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tidak ada yang menjawab teriakanku lagi. Kota yang biasanya begitu sibuk, berisik, dan memuakan kini berubah menjadi senyap dan bahkan mengerikan. Tak ada interaksi sesama manusia di sini. Mereka mematung, dalam bentuk terakhir dari aktivitas mereka. Ada yang sedang mengetik di ruang kantornya, ada yang sedang memberhentikan taksi di jalan, bahkan ada yang senang berlari mengejar angkutan kota.

Sudah tiga jam aku berputar-putar di kota ini, dari gedung ke gedung, jalan ke jalan, Mal ke mal, tak ada satu benda pun yang bergerak. Bahkan matahari pun seperti berhenti tepat di atas kepalaku. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Namun terkadang menyenangkan dengan kondisi seperti ini, ketika hiruk pikuk kota yang mengerikan berhenti sejenak. Ketika semua pekerja berhenti sebentar dari rutinitas yang memuakan. Begitu menyenangkan membuat semua ini dapat terwujud.

Tepat di depanku ada seorang gadis cantik, dengan stelan kemeja kantor yang sangat serasi dengan lekuk tubuhnya. Wangi parfumnya pun sampai tercium dari jarak yang cukup jauh. Dengan rambut yang tidak begitu panjang, senyumnya tanpak begitu manis setiap pagi kala bertemu di depan pintu kantor yang memang kebetulan biasa bertemu.

Dia begitu sederhana, begitu tenang, bahkan begitu sunyi bagi diriku yang sudah cukup lama mengenalnya. Semisal dia sadar saat ini, mungkin situasi membisu ini akan sangat menyenangkan bagi dia. Dan begitu juga diriku, kenapa kenikmatan ini hanya aku yang merasakan? Gadis cantik itupun seharusnya berhak untuk merasakannya, gadis yang memang senantiasa mencari sunyi yang telah pergi dari kota yang berisik.


Depok, 6 September 2008, 23.25 WIB

~ 0 komentar: ~

+

Labels

The Owner

Foto saya
Seorang laki-laki yang baru belajar menulis

Blogroll

About